Perkembangan Hukum di Indonesia Dari Masa Sesudah Kemerdekaan Sampai
Masa Reformasi
Perlu kita
ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat
memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan
Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sector, dimulai dari sector Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan
Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Pada pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional).
Pada pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional).
Yang secara
Eksplisit dan resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan Lima Tahun Kedua Tahun
1974, Bab 27 Paragraf IV butir I Menguraikan : “Hukum dan Rancangan Perundang-undangan”,
dengan prioritas untuk meninjau kembali dan merancang peraturan-peraturan
perundang-undangan sesuai dengan pembangunan social-ekonomi
(perundangan-undangan disektor social-ekonomi.
Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yng dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika).
Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yng dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika).
Para ahli
hukum praktek yang mempelajari hukum eropa (belanda), dalam hal ini, mochtar
berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, telah
melakukan pengembangan hukum nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial
yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling
logis. Dimana Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian
kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan
peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa (belanda),
yang mengadopsi dari hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan tetapi
konfigurasinya/pola sistematik dari eropa tidak dapat dibongkar, hukum tata
niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan hukum sebagai
perekayasa social atau hukum ekonomi.
Dalam Wetboek Van Koohandel terdapat pula pengaturan mengenai leasing, kondominium, pada Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi, sedangkan hukum dagang (belanda) dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), khususnya hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Dalam Wetboek Van Koohandel terdapat pula pengaturan mengenai leasing, kondominium, pada Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi, sedangkan hukum dagang (belanda) dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), khususnya hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Pada era
Orde Baru pencarian model hukum nasional untuk memenuhi panggilan zaman dan
untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana
mengukuhkan hukum adat akan berarti mengukuhan pluralisme hukum yang tidak
berpihak kepada hukum nasional untuk diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi),
terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta selalu berubah secara
kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan
universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan
masyarakat lokal yang pluralistis. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum
kolonial yang bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan
komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam
hukum nasional.
Pada masa era tahun 1970, telah dilakukan konsolidasi dengan dukungan politik militer dan bertopang pada struktur secara monolistik serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang secara riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham hukum sebagai perekayasa ditangan Pemerintah yang lebih efektif.
Timbul permasalahan pokok yaitu : 1. Mengapa didalam Sejarah Hukum harus kembali kepada Ketetapan MPRS Tahun 1966 yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ?, 2. Bagaimanakah realisasi dari Pemerintahan Orde Baru dengan prodak Hukum Super Semar, serta bagaimana perubahan Sejarah Hukum dipandang baiak dari Kebijakan Dasar maupun Kebijakan Pemberlakuan terhadap roda Pemerintahan dimasa Orde Baru (baik secara factor Internal maupun secara factor eksternal) ? Atas dasar permasalahan tersebut, maka harus mempunyai tujuan serta maksudnya yaitu memperdalam pengetahuan Sejarah Hukum, agar dapat terlihat secara jelas dan sistematis perkembangan dari masa-masa pemerintah Orde Lama kepada masa Orde Baru, dimana pada masa Pemerintahan Orde Baru yang telah melakukan perubahan secara besar-besaran dibidang Hukum, Politik dan Sosial Budaya.
Pada masa era tahun 1970, telah dilakukan konsolidasi dengan dukungan politik militer dan bertopang pada struktur secara monolistik serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang secara riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham hukum sebagai perekayasa ditangan Pemerintah yang lebih efektif.
Timbul permasalahan pokok yaitu : 1. Mengapa didalam Sejarah Hukum harus kembali kepada Ketetapan MPRS Tahun 1966 yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ?, 2. Bagaimanakah realisasi dari Pemerintahan Orde Baru dengan prodak Hukum Super Semar, serta bagaimana perubahan Sejarah Hukum dipandang baiak dari Kebijakan Dasar maupun Kebijakan Pemberlakuan terhadap roda Pemerintahan dimasa Orde Baru (baik secara factor Internal maupun secara factor eksternal) ? Atas dasar permasalahan tersebut, maka harus mempunyai tujuan serta maksudnya yaitu memperdalam pengetahuan Sejarah Hukum, agar dapat terlihat secara jelas dan sistematis perkembangan dari masa-masa pemerintah Orde Lama kepada masa Orde Baru, dimana pada masa Pemerintahan Orde Baru yang telah melakukan perubahan secara besar-besaran dibidang Hukum, Politik dan Sosial Budaya.
Tidak
terlepas dari kerangka teori dan konsep yang berlandaskan kepada Undang Undang
Dasar 1945 dan Pancasila yang merupakan sebagai Landasan Idiil, yang dijelaskan
dalam “paragraph Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara
yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka
dan Konstitusional serta dikuatkan dengan Ketetapan MPRS Tahun 1966 tanggal 5
Juli dengan Ketetapan MPRS No. XX menetapkan : “sumber teretib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekue dan yang maksud ketetapan MPRS
tersebut adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5
Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super Semar 1966”.
Sangat jelas terlihat bahwa pada tahun 1966 telah terjadi perubahan besar-besaran dibidang hukum dan Politik, yang meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dimana UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional terhadap segala kegiatan ekonomi, politik, social dan budaya, dan anti kolonialisme dan anti imperialisme tidak lagi dikumandangkan telah berganti strategi nasional yaitu kepada masalah soal kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi untuk dipecahkan.yang berkaitan dengan pendapatan rakyat, buta aksara/huruf, kesehatan dan pertambahan penduduk. Dengan sikap Low Profile dalam politik Internasional, dengan dibawah kontrol Pemerintah Orde Baru terdapat suatu indicator keberhasilan perjuangan bangsa yang kemudian dialihkan keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi.Hal tersebut berkaitan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 dan pada Tahun 1968, dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh (dari kebijakan politik revolusioner sebagai panglima menjadi kebijakan pembangunan ekonomi sebagai perjuangan Orde Baru). Sedangkan pada berikutnya adalah sebagai tahap mengembalikan citra Indonesia sebagai Negara Hukum, dimana perkembangan hukum nasional pada era Orde Baru adalah upaya memulihkan kewibawaan hukum dan tata hirarki perundang-undangan. Yang kemudia pada Tahun 1966 tanggal 5 Juli dengan Ketetapan MPRS No. XX : telah menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan maksud ketetapan MPRS tersebut adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super Semar 1966.
Dengan Tata urutan serta tingkatan-tingkatan tersebut yaitu : Undang-Undang Dasar, Ketetapam MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri). Pembangunan lima tahun merupakan (Rule of Law) pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dengan melihat kepada Rule of Law, terdapat tiga kebijakan yaitu Hak Azasi manusia, peradilan harus bebas dan tidak memihak (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman) dan azas legalitas terhadap hukum formil maupun hukum materiil.
Dan pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, telah dilakukan pembatasan-pembatasan kekuasaan eksekutif, karena pada Pemerintahan Presiden Soekarno, kekuasaan eksekutif mendudukkan diri kepada Pimpinan Besar Revolusi, yaitu dengan mengesahkan jabatannya sebagai Presiden seumur hidup (Sangat eksesif dengan dekrit-dekrit Presiden sebagai kekuatan hukum yang melebih kekuatan undang-undang dan UU Pokok Kehakiman No. 19 Tahun 1964 yang telah memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan intervensi pada perkara-perkara di Pengadilan). Atas dasar tersebutlah Pemerintah Orde Baru melakukan pemulihan kewibaan hukum dan menegakkan The Rule of Law untuk terciptanya serta terlaksananya kegiatan perekonomian, dengan bantuan luar negeri dan investasi asing oleh karenannya harus tetap terjaminnya kepastian berdasarkan hukum.
Pada masa era Orde Baru, telah menjadikan hukum pembangunan, bukan hukum revolusi dengan tidak memberlakukan hukum kolonial (Barat seperti desakan Sahardjo dan Wirjono). Sebagaimana telah terjadi pertentangan antara Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu dijabat oleh Soebekti (pada Tahun 1963), yang menentang logika hukum Saharjo dan Wirjono, dimana dalam pelaksanaan dan operasionalisasi kegiatannya banyak yang memaksakan penyimpangan-penyimpangan yang menimbulkan peristiwa yang disebut Legal Gaps (Para yuris menghadapi berbagai permasalahan ekonomi, politik, social, budaya dan agama). Dimana pada Masa Orde Baru atau Orde Pembangunan, hukum diperlakukan sebagai sarana dan baru yang bertujuan pembangunan, dan bukan bertujuan untuk merasionalisasai kebijakan-kebijakan Pemerintah ( Kebijakan eksekutif).
Proses pembangunan melakukan pendekatan baru, yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif. Menurut Mochtar Kusumaatmadja : “ yang mengajak para sosiologik dalam ilmu hukum untuk merelevansikan hukum dengan permasalahan pembangunan social-ekonomi. Dimana Faham aliran sociological Jurisprudence (Legal Realisme), yaitu konsep Roscoe Pound adalah “perlunya memfungsikan Law as a Tool of Social Engineering”, dan dengan dasar argumen Mochtar yaitu “mengenai pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut kepada skenario kebijakan Pemerintah/eksekutif, yang sangat diperlukan oleh negara-negara sedang berkembang. Para ahli Politik, ekonomi dan Hukum harus memikirkan dan membantu tindakan untuk mengefektikan hukum dengan menjaga Status Quo, akan tetapi juka ikut mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang dilakukan secara tertib dan teratur.
Sangat jelas terlihat bahwa pada tahun 1966 telah terjadi perubahan besar-besaran dibidang hukum dan Politik, yang meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dimana UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional terhadap segala kegiatan ekonomi, politik, social dan budaya, dan anti kolonialisme dan anti imperialisme tidak lagi dikumandangkan telah berganti strategi nasional yaitu kepada masalah soal kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi untuk dipecahkan.yang berkaitan dengan pendapatan rakyat, buta aksara/huruf, kesehatan dan pertambahan penduduk. Dengan sikap Low Profile dalam politik Internasional, dengan dibawah kontrol Pemerintah Orde Baru terdapat suatu indicator keberhasilan perjuangan bangsa yang kemudian dialihkan keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi.Hal tersebut berkaitan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 dan pada Tahun 1968, dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh (dari kebijakan politik revolusioner sebagai panglima menjadi kebijakan pembangunan ekonomi sebagai perjuangan Orde Baru). Sedangkan pada berikutnya adalah sebagai tahap mengembalikan citra Indonesia sebagai Negara Hukum, dimana perkembangan hukum nasional pada era Orde Baru adalah upaya memulihkan kewibawaan hukum dan tata hirarki perundang-undangan. Yang kemudia pada Tahun 1966 tanggal 5 Juli dengan Ketetapan MPRS No. XX : telah menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan maksud ketetapan MPRS tersebut adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super Semar 1966.
Dengan Tata urutan serta tingkatan-tingkatan tersebut yaitu : Undang-Undang Dasar, Ketetapam MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri). Pembangunan lima tahun merupakan (Rule of Law) pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dengan melihat kepada Rule of Law, terdapat tiga kebijakan yaitu Hak Azasi manusia, peradilan harus bebas dan tidak memihak (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman) dan azas legalitas terhadap hukum formil maupun hukum materiil.
Dan pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, telah dilakukan pembatasan-pembatasan kekuasaan eksekutif, karena pada Pemerintahan Presiden Soekarno, kekuasaan eksekutif mendudukkan diri kepada Pimpinan Besar Revolusi, yaitu dengan mengesahkan jabatannya sebagai Presiden seumur hidup (Sangat eksesif dengan dekrit-dekrit Presiden sebagai kekuatan hukum yang melebih kekuatan undang-undang dan UU Pokok Kehakiman No. 19 Tahun 1964 yang telah memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan intervensi pada perkara-perkara di Pengadilan). Atas dasar tersebutlah Pemerintah Orde Baru melakukan pemulihan kewibaan hukum dan menegakkan The Rule of Law untuk terciptanya serta terlaksananya kegiatan perekonomian, dengan bantuan luar negeri dan investasi asing oleh karenannya harus tetap terjaminnya kepastian berdasarkan hukum.
Pada masa era Orde Baru, telah menjadikan hukum pembangunan, bukan hukum revolusi dengan tidak memberlakukan hukum kolonial (Barat seperti desakan Sahardjo dan Wirjono). Sebagaimana telah terjadi pertentangan antara Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu dijabat oleh Soebekti (pada Tahun 1963), yang menentang logika hukum Saharjo dan Wirjono, dimana dalam pelaksanaan dan operasionalisasi kegiatannya banyak yang memaksakan penyimpangan-penyimpangan yang menimbulkan peristiwa yang disebut Legal Gaps (Para yuris menghadapi berbagai permasalahan ekonomi, politik, social, budaya dan agama). Dimana pada Masa Orde Baru atau Orde Pembangunan, hukum diperlakukan sebagai sarana dan baru yang bertujuan pembangunan, dan bukan bertujuan untuk merasionalisasai kebijakan-kebijakan Pemerintah ( Kebijakan eksekutif).
Proses pembangunan melakukan pendekatan baru, yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif. Menurut Mochtar Kusumaatmadja : “ yang mengajak para sosiologik dalam ilmu hukum untuk merelevansikan hukum dengan permasalahan pembangunan social-ekonomi. Dimana Faham aliran sociological Jurisprudence (Legal Realisme), yaitu konsep Roscoe Pound adalah “perlunya memfungsikan Law as a Tool of Social Engineering”, dan dengan dasar argumen Mochtar yaitu “mengenai pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut kepada skenario kebijakan Pemerintah/eksekutif, yang sangat diperlukan oleh negara-negara sedang berkembang. Para ahli Politik, ekonomi dan Hukum harus memikirkan dan membantu tindakan untuk mengefektikan hukum dengan menjaga Status Quo, akan tetapi juka ikut mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang dilakukan secara tertib dan teratur.
Menurut
Raymond Kennedy adalah “Merupakan kebijakan anti-Acculturation yang tidak
mendatangkan kemajuan apa-apa”, maka pembangunan hukum nasional di Indonesia
hendaklah tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan (apakah meneruskan hukum
kolonial ataukah secara apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum
nasional). Dimana Mochtar mengajurkan agar dilakukan penelitian terlebih dahulu
untuk melakukan Charting out in what areas of Law(sedangkan mengenai soal
kontrak, badan-badan usaha dan tata niaga dapat diatur oleh hukum
perundang-undangan nasional dan untuk masalah lain yang netral seperti
komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi dapat dikembangkan dalam system
hukum asing/meniru). Dimana pemikiran mochtar tidak terlalu istimewa akan
tetapi berfikir tentang fungsi aktif hokum sebagai perekayasa social (sangat
penting dalam perkembangan hukum nasional pada era Orde Baru).
Setelah
masa kekuasaan Presiden Soekarno, Mochtar mengalirkan pemikirannya melalui
konsorsium Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengontrol kurikulum
pada Fakultas Hukum di Indonesia maupun sebagai Menteri Kehakiman Tahun
1974-1978, dengan kombinasi dari keduannya dengan kodifikasi dan unifikasi
hukum nasional yang terbatas secara selektif pada hukum yang tidak menjamah
tanah kehidupan budaya dan spiritual rakyat, yang menjadi program Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Dengan Ide Law as a Tool of Social Engineering adalah
untuk memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja dengan
tidak melupakan hukum tata negara (terlihatlah mendahulukan infrastruktut
politik dan ekonomi) dan ide ini sesuai dengan kepentingan Pemerintah. Atas
dasar tersebut dimana kelembagaan hukum adalah untuk kepentingan pembangunan
ekonomi, permodalan, perpajakan, keuangan, perbankan, investasi, pasar modal,
perburuhan dan lain-lain.
Hukum
nasional dikualifikasikan sebagai hukum nasional modern dengan mengikuti
perkembangan sejarah hukum dengan menempatkan diri secara khusus kearah
perkembangan. Dalam Pidato Presiden Soeharto yaitu dalam pembukaan Law Asia di
Jakarta Tahun 1973 yang mengatakan bahwa “ Setiap pembangunan mengharuskan
terjadinya serangkaian perubahan, bahkan juga perubahan-perubahan yang sangat
fudamental”, tetapi tidak dapat dikatakan sebagai keadaan status quo dimana
sesungguhnya hukum akan berfungsi sebagai pembuka jalan dan kesempatan menuju
kepembaharuan yang dikendaki. Secara
Eksplisit dan resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan Lima Tahun Kedua Tahun
1974, Bab 27 Paragraf IV butir I Menguraikan : “ Hukum dan Rancangan
Perundang-undangan”, dengan prioritas untuk meninjau kembali dan merancang
peraturan-peraturan perundang-undangan sesuai dengan pembangunan social-ekonomi
(perundangan badan usaha, paten, merk dagang, hak cipta, tera dan timbangan,
perundangan lalulintas, pelayaran, transportasi dan keamanan udara,
telekomunikasi dan pariwisata, Perundangan Prosedur penggunaan, pemilikan dan
penggunaan lahan pertanahan, keuangan negara dan daerah dan perundangan
perikanan darat, perkebunan, alat pertanian, perternakan, pelestarian
sumberdaya alam dan perlingunan hutan), khususnya bidang pertanian, industri,
pertambangan, komunikasi dan perdagangan.
Dengan
memfungsikan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi (kehendak kepentingan
industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ hukum sebagai sarana perekayasa
social” begitu pula ide pendayagunaan hukum masuk sebagai kebijakan pemerintah
dengan upaya melakukan survai untuk menginvestasikan dan meletakkan keadan
hukum yang telah atau belum ada untuk kepentingan aktivitas ekonomi, yang
kemudian bermanfaat untuk menentukan kebijakan perundang-undangan yang telah
direncanakan dalam rancangan pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan hukum nasional
dengan cara mengembangan hukum baru atas dasar prinsip yang diterima dalam
kehidupan Internasional, dimana ada dua pihak ahli hukum yang tidak setuju,
yaitu harus ada kontinuitas perkembangan hukum (kolonial) menuju hukum nasional
dimana Hukum nasional harus berakar yaitu hukum adat.
Jelasnya
bahwa pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia adalah dengan
hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal
dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek, mempelajari
hokum eropa (belanda) dimana mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum
dan bisnis Internasional, melakukan pengembangan hokum nasional Indonesia
dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila
adalah yang dipandang paling logis.
Hukum
Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih
merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat
terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa(belanda). Telihat adanya adopsi
dari hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan tetapi
konfigurasinya/pola sistemiknya yang eropa tidak dapat dibongkar, hukum tata
niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan hukum sebagai
perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam Weyboek Van Koohandel terdapat pula
mengatur leasing, kondominium dan Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum
perburuhan, agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi.
Terutama
pada hukum dagang (belanda) yang dikualifikasikan sebagai hukum privat
(perdata), sedangkan hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan
publik-administratif pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur
mekanisme ekonomi pasar bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi
berencana.
Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern (soepomo).
Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern (soepomo).
Di masa
Orde Baru pencarian model hukum nasional adalah untuk memenuhi panggilan zaman
dan untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana
mengukuhkan hukum adat akan berarti mengukuhan pluralisme hukum dan tidak
berpihak kepada hukum nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi).
Dan ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis,
dimana hukum adat adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal
yang pluralistis, dengan mengingat bahwa hukum kolonial dianggap sangat
bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah
Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional
tersebut.
Law as a
Tool Social Engineering, baru siap dengan rambu-rambu pembatas dan beluam siap
dengan alternatif positif yang harus diwujudkan, dimana hukum nasional harus
berdasarkan hukum adat, dan juga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan
demikian hukum adat adalah merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan untuk pembangunan hukum nasional dalam unifikasi hukum
(karena terdapat nilai universal), untuk menguji kelayakan hukum nasional.
Dengan
melihat kepada pendapat para ahli hukum (Van Vollenhoven dan Soepomo), dimana
terdapat empat asas hukum adat yang mempunyai nilai universal dan lima pranata
hukum adat dapat dijumpai dalam hukum Internasional, yang merupakan dasar
kekuasaan umum dan asas perwakilan serta permusyawaratan dalam sistim
pemerintahan.
Didalam
hukum Internasional pranata maro (production sharing contract), pranata panjer
(commitment fee atau down payment) dimana pranata kebiasaan untuk mengijinkan
tetangga tidak perlu meminta izin untuk melintas pekarangan seseorang (innocent
passage), pranata dol oyodan atas tanah (voyage charter atau time charter) dan
pranata jonggolan (lien atau mortgage).13Konsep tanah wewengkon atau tanah
ulayat dalam hukum internasional dikenal sebagai konsep teritorialitas yaitu
perlindungan kebawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi
adat (dalam hukum internasional disebut asylum atau hak meminta suaka).
Sebagai
upaya dimasa Orde Baru, bahwa badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang
bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan sebagai badan
yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum lewat
mengartikulasian hukum dan moral rakyat. Dimana ketidak mampuan hakim bertindak
mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum nasional, tidak
disebabkan oleh para hakim saja, yang tidak menjamin kemandiriannya yang
seharusnya ditetapkan dahulu secara diktrinal(karena pendidikan hukum dan
kehakiman terlanjur menekankan pola berfikir deduktif lewat silogisme logika
formal tanpa melalui berfikir induktif untuk menganalisa kasus/case law).
Barulah
pada tahun 1970, telah dilakukan konsolidasi dengan dukungan politik militer
dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara monolitik serta mudah
dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat dalam pembangunan hukum
nasional sangat mendesak yang secara riil tidak tercatat terlalu besar,
terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan
pengefektifan terhadap faham hukum sebagai perekayasa ditangan Pemerintah yang
lebih efektif.
Resultante
pada era Orde Baru telah terlanjur terjadi karena kekuatan dan kekuasaan riil
eksekutif dihadapan badan-badan perwakilan telah menjadi tradisi di Indonesia
sejak jaman kolonial dan pada masa sebelumnya dan juga adanya alasan-alasan
yang lain yaitu alasan pertama : adalah pendayagunaan wewenang konstitusional
badan deksekutif yang melibatkan diri dalam pernacangan dan pembuatan
undang-undang, karena dikusainya sumber daya yang ralif berlebihan alan
menyebabkan eksekuitf mampu lebih banyak berprakasa, yang seharusnya alih ide
dan kebijakan diperakasai oleh lembaga perwakilan akan tetapi pada kenyataannya
justru ide dan prakasa eksekutif yang lebih banyak merintis dan mengontrol
perkembangan.
Kontrol
eksekutif tampak lebih menonjol manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif
dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf peraturan
pelaksanaan, alasan kedua : adalah dimana perkembangan politik pada era Orde
Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata mampu
bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik sebagai hasil
trade-offs antara berbagai kekuatan polotik.
Terlihat
dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota Dewan adalah
anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi ABRI ditunjuk
dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan kontruksi tersebut dalam abad ke
20 secara sempurna menjadi “Government Social Control dan fungsi sebagai “Tool
Of Social Engineering”.
Dengan
demikian Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol Pemerintah yang terlegitimasi
(secara formal-yuridis) dan tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas
moral dan wawasan kearifan yang tidak hidup dalam masyarakat awam, hal ini
terlihat gerakan-gerakan dari bawah untuk menuntut hak-hak asasi, yang justru
lebih kuat dan terjadi dimasa kejayaannya ide hukum revolusi diawal tahun
1960-an.
Analisa
pertama adalah karena disebabkan dianggap sudah tidak murni dan konsekuen untuk
melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan idiil dan konstitusional,
dimana Presiden Orde lama dengan melalui dekrit-dekritnya sebagai Pimpinan yang
tertinggi dan sebagai Presiden seumur hidup. Dimana kebijakan dasar dan
kebijakan pemberlakuan secara internal, mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak-hak asasi manusia dimana terjadi kelaparan serta kemiskinan yang
berkelanjutan karena telah menyimpang dari landasan Negara yaitu UUD 1945 dan
Pancasila.
Jika
dilihat berdasarkan factor eksternal, dimana pada masa Pemerintahan Orde Lama
adalah yang merupakan sebagai Presiden seumur hidup sebagai pahlawan revolusi
telah bertindak melakukan menguasaan terhadap perusahaan asing, dengan
mengakibatkan secara factor eksternal terdapat ketidak percayaan investor asing
terhadap Pemerintah Orde Lama, karena dengan kekuasaannya telah mengakibatkan
terjadinya ketidak pastian hukum di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Lama
tersebut.
Analisa
permasalahan kedua, adalah dimana pada Pemerintahan Orde Baru adalah merupakan
sebagai Pemerintahan yang dengan memberlakukan Ketetapan MPRS No. XX : yang
telah menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dan yang dimaksud oleh ketetapan MPRS tersebut
adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959,
UUD Proklamasi dan Super Semar 1966. Dimana
secara factor internal, Pemerintahan Orde Baru ingin melakukan pembaharuan
hukum disegala sector dengan melakukan kodofikasi dan unifikasi hukum nasional,
upaya ini adalah untuk mengembalikan citra hukum Indonesia akibat kekuasaan
Orde lama yaitu dengan mengembalikan perusahaan asing yang telah dikuasai
semasa Pemerintahan Orde Lama dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum
Indonesia. Analisa secara factor
Eksternal adalah bertujuan agar kembali kepada kebijakan dasar yaitu UUD 1945
dan Pancasila dan kebijakan Pemberlakukan yaitu Peraturan Perundang-undangan
yang bersandar kepada hukum Nasional yang telah di kodifikasi dan di Unifikasi,
dengan tujuan sebagai terciptanya kepastian hukum dam menunjukan kepada dunia
Internasional agar mau menanamkan modal atau menginvestasikan kembali modalnya
di Indonesia dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional.
Setelah
kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan
kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan
ke bentuk hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum
stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek
kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku
dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada
saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS
1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal,
sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif.
Demokrasi
liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem
politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak
individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal,
keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung)
diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk
pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan
hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Pada masa
Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap
UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan
kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang
konservatif (ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena
memang pendapat Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Penyimpangan-penyimpangan
tersebut adalah :
1. 1. Kekuasaan Presiden dijalankan secara sewenang-wenang; hal ini
terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk
dilaksanakan oleh Presiden.
2. 2. MPRS menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup; hal ini
tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
3. 3. Pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri; dengan
demikian , MPR dan DPR berada di bawah Presiden.
4. 4. Pimpinan MA diberi status menteri; ini
merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka.
5. 5. Presiden membuat penetapan yang isinya semestinya
diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR); dengan demikian
Presiden melampaui kewenangannya.
6. 6. Pembentukan lembaga negara yang tidak diatur dalam
konstitusi, yaitu Front Nasional.
7. 7. Presiden membubarkan DPR; padahal
menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan DPR
Pada tahun
1966 merupakan titik akhir Orde lama dan dimulainya Orde Baru yang membawa
semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun Soeharto sebagai penguasa Orde Baru juga cenderung otoriter. Hukum yang
lahir kebanyakan hukum yang kurang/tidak responsif. Apalagi pada masa ini hukum
“hanya” sebagai pendukung pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I
– PELITA VI dititik beratkan pada sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan
perundangan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragam.
Penyimpangan-penyimpangan
pemerintah pada masa orde baru adalah :
1. 1. Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga
pemerintahan dijalankan secara otoriter.
2. 2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya,hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3. 3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis; pemilu
hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga presiden
terus menenrus dipilih kembali.
4. 4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila; Pancasila
ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
5. 5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti
hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
6. 6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga
kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7. 7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam
konstitusi,yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. 8. Terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang luar biasa
parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan
berakibat pada terjadinya krisis multidimensi.
Setelah
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki
era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah
awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945,
karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara
di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan
perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian
peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
Pemerintah
dalam Implementasi Hukum pada Masing-masing Periode
Berbicara
bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi hukum di Indonesia terkait
dengan politik hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu
menentukan produk hukum yang dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan
Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling)
yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiap-tiap golongan penduduk. Adapun
mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik
hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.
Setelah
Indonesia merdeka, untuk mencegah kekosongan hukum dipakailah Aturan peralihan
seperti yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192
Konstitusi RIS dan Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak terlalu berkembang pada
masa awal kemerdekaan, akan tetapi implementasinya relatif baik yang ditandai
lembaga peradilan yang mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya
demokrasi liberal yang memberi kebebasan kepada warga untuk berpendapat.
Sebaliknya pada masa Orde lama, peran pemimpin (Presiden) sangat dominan yang
menyebabkan implementasi hukum mendapat campur tangan dari Presiden. Akibatnya
lembaga peradilan menjadi tidak bebas.
Ketika Orde
Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan Pemerintah yaitu hukum diarahkan
untuk melegitimasi kekuasaan Pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung sektor
ekonomi dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Hal ini
dikarenakan Pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan bidang ekonomi dalam
pembangunan. Perubahan terjadi ketika memasuki era reformasi yang menghendaki
penataan kehidupan masyarakat di segala bidang. Semangat kebebasan dan
keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi terkontrolnya langkah Pemerintah
untuk mendukung agenda reformasi termasuk bidang hukum. Langkah-langkah yang
diambil antara lain pembenahan peraturan perundangan, memberi keleluasaan
kepada lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya serta memberi suasana
kondusif dalam rangka mengembangkan sistem kontrol masyarakat untuk mendukung
penegakan hukum.